GEOLOGI BATU BARA - MANDIRI ENERGI (COAL BED METHANE)
TEMA: PEMANFAATAN
UNCONVENTIONAL HYDROCARBON DALAM MENJAGA ENERGI NASIONAL.
Oleh: Dewi Fitri
Anggraini_UPN “Veteran” Yogyakarta
Mandiri Energi
Permasalahan
energi di Indonesia adalah disediakan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) yang di
atur oleh APBN(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) apabila biaya BBM lebih
tinggi dari harga jual yang di tentukan Pemerintah, tetapi tidak ada aturan
dari energi alternatif (kecuali LPG tabung 3 kg). Padahal subsidi energi
alternatif lebih kecil dari subsidi BBM.
Di
Kutip dari penulis awal Oktober 2008 ke Hanoi dimana harga premium disana
Rp10.500,- per liter tetapi penduduk tidak protes dan tetap tenang, bekerja
dengan baik, ramah terhadap terhadap orang asing dan setiap pagi berolahraga.
Penduduk disana kebanyakan mengendarai sepeda motor dan transportasi umum. Bis
patas AC di subsidi sehingga tarif kenai per penumpang hanya sebesar RP2.500,-
dengan fasilitas yang nyaman dan bersih. Saat di Hanoi sekitar Rp7.800,-.
Peristiwa
diatas sebenarnya hanya contoh kecil saja yang dapat memperlihatkan kondisi
harga BBM tidak mempengaruhi aktifitas penduduk yang berarti. Jika di pahami
secara teliti hal tersebut dapat terjadi karena pemerintah benar-benar
memfasilitasi fasilitas umum yaitu alat transportasi yang nyaman, aman dan
dengan biaya yang bisa dikatakan murah. Karena pemerintah telah menggunakan
kewajiban memberikan subsidi untuk fasilitas umum bukan bahan bakar yang
digunakan masyarakat luas untuk sehari-hari. Dampak yang jelas dan sangat
terasa di Indonesia yaitu ketergantungan dengan BBM hal ini karena BBM tersebut
di subsidi oleh pemerintah yang potongannya cukup besar sehingga harga yang
berlaku relatif murah sehingga masih dirasakan ringan untuk di konsumsi secara
pribadi. Sehingga masyarakan di Indonesia lebih memilih menggunakan kendaraan
pribadi. Bagaimana dengan subsidi untuk energi alternatif ? yang sudah
jelas-jelas indonesia kaya dan berlimpah untuk masalah bahan baku namun tak
perlu adanya impor malahan kita bisa saja menekspor keluar negeri. Namun fakta
lapangan menunjukkan bahwa subsidi untuk energi alternatif lebih kecil
dibandingakan subsidi BBM. Hal tersebut yang menyebabkan energi alternatif
seperti panas bumi, bioetanol, biodiesel dan masih banyak lagi energi alternatif yang
dapat Indonesia produksi sendiri tidak bisa berkembang baik atau jauh dengan
keinginan kita untuk menjadikan energi alternatif sebagai energi masa depan
Indonesia. Pensubsidian ini adalah salah satu masalah yang besar dalam hal kemandirian
energi di Indoesia.
Daripada
harga energi yang rendah sebaiknya kita memberi harga sedemikian sehingga
energi alternatif bisa dikembangkan dan menggunakan dana subsidi energi untuk
membangun infrastruktur energi alternatif dengan menyediakan alat pemrosesan,
smelter pipa gas untuk gas kota dan tabung serta SPBG untuk BBG yang dapat diperoleh
baik gas maupun CBM, pinjaman berbunga rendah untuk microhydro dan untuk studi geologi panas bumi dan unconventional hydrocarbon.
Indonesia
mempunyai bayak energi alternatif antara lain yang nyata akan cadangannya dan
pemanfaatannya adalah unconventional
hydrocarbon salah satunga adalah CBM(Coal Bed Methane) diketahui sumberdaya
(resources) di Indonesia mencapai 450
TCF dinilai layak dikembangkan. Latar belakang pola pengembangan lapangan CBM
merupakan salah satu unsur yang akan diimplementasikan dalam kontrak, sehingga
perlu dilakukan evaluasi dan kajian agar nantinya investasi dalam pengusahaan
CBM akan feasible baik secara teknis
maupun ekonomis serta menarik dan menguntungkan bagi para pihak (Pemerintah dan
Pengusaha). Potensi 450 TCF yang telah dinilai layak dikembangkan untuk
meningkatkan pendapatan negara dan memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi
perekonomian nasional sesuai dengan amanat UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi. Sedangkan pengusaha akan menitik beratkan pertinbangan pada terms
and conditions kontrak yang berlaku nantinya, bersama-sama dengan
faktor-faktor lainnya seperti potensi cadangan, pasar, dan financial regime.
Dari
beerapa pertimbangan diatas, pengusaha tentunya akan berani melakukan investasi
apabila potensi-potensi yang ada akan sangat kompetitif untuk dikembangkan dan
memeberikan keuntungan sesuai dengan resiko yang akan diambil. Keekonomian
pengembangan CBm, termasuk resiko investasi dan waktu yang cukup apnajang untuk
mencapai produksi yang komersial, akan menyebabkan pengusaha lebih cenderung
pada bentuk kontrak bukan production
sharing seperti yang berlaku di industri migas saat ini.
Namun
terdapat permasalahan utama khususnya di Indonesia, yang menyebabkan
sulitnyapengusahaan pengembangan CBM antara lain:
·
CBM merupakan salah satu energi
alternatif, yang potensinya cukup besar di Indonesia. Tidak adanya regulasi
khusus mengenai CBM.
·
Dalam rangka meningkatkan diversifikasi
energi, pemerintah akan mengupayakan pengusaha CBM dengan memeberikan penawaran
wilayah kerja CBm kepada investor.
·
Sampai saat ini belum ada bentuk kontrak
lain yang secara spesifilk dirancang untuk pengusahaan CBM.
·
Utnuk menyusun kontrak pengusahaan CBM,
perlu dipersiapakan evaluasi kajian keteknikan dan keekonomian, agar diperoleh
model/skenario pengembangan lapangan, sehingga pemerintah dapat mengambil
keputusan secara tepat dan cepat dalam memberikan penawaran yang
menarik/insentif wilayah kerja CBm baru atau menyepakati facial terms tertentu bersama kontraktor.
Semua
masalah dapat ditasi tergantung pada diri kita masing-masih yang artinya
Indonesia itu sendiri kita dapat belajar dari negara lain yang tlah berhasil
mengembangkan uncontional hydrocarbon khususnya
CBM. Kasus pengalaman CBM di Alberta, Kanada Eksplorasi telah dilakukan dari
akhir 1980-an sampai dengan tahun 2001 dengan keberhasilan yang terbatas.
Penggunaan teknologi multiple seam
completion dan coil tubing drilling
telah sukses secaara komersial yang pertama pada tahun 2001 di Horseshoe Canyon
Formation. Lebih dari 11.000 sumur telah di bor selama 6 tahun dimana lebih
dari 10.000 sumur diproduksi di Horseshoe Canyon dry coal CBM play. Sedangkan
keberhasilan komersial yang pertama adalah di Mannville play pada tahun 2005 terutama akibat teknologi pemboran horisontal
dan multilateral.
Batubara
dilapangan yang lebih dalam (permeabilitas yang lebih rendah) adalah
sasaran/fokus berikutnya untuk pengembangan CBM. Saat ini CBM memberikan
kontribusi lebih dari 800 MMCF/D pasokan gas di Kanada.
Itu baru satu pelajaran yang dapat Indonesia
pelajari untuk pengembangan unconventional
hydrocarbon (yang dimaksud adalah CBM) padahal telah diketahui semakin
berjalannya waktu dari tahun 1980-an hingga sekarang lapangan CBM di seluruh
dunia telah berkembang pesat contohnya di Amerika serikat, sehingga dengan itu
kita dapat mereview diberbagai lokasi untuk memecahkan masalah pengembangan CBM
di Indonesia.
Sudah
siapkah pemerintah mendukung perkembangan energi alternatif CBM ini? Ini adalah
pertanyaan ringan dan penuh tantangan untuk bangsa kita. Kemandirian di bidang
energi untuk memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia hanya mungkin apabila kita
melepaskan ketergantungan pada minyak, karena Indonesia justru mempunyai banyak
energi selain minyak. Perlu diketahui bahwa program intensifikasi (peningkatan
produksi migas), diservikasi (penggunaan energi lain) serta konservasi
(penghematan energi) sedang dilakukan utnuk perbaikan iklim investasi dan
peningkatan kemampuan nasional guna menuju kemandirian dan ketahan energi
nasional.
Sumberdaya
(potensi) energi unconventional
hydrocarbon sudah terpenuhi yaitu CBM sebesar 450 TCF yang telah diketahui
lebih bedar dibandingkan cadangan gas konvensional sehingga seharusnya
Indonesia paling tidak pada tahun 2025 kebutuhan energi Indonesia 40% oleh gas
unkonvensional CBM.
Untuk
membantu mempermudah mengenai masalah pengembangan diperlukan kerjasama dnegan
pihak-pihak yang pernah berhasil mengembangkan CBM seperti Kanada dan
Australia. Sebaiknya royalty dan bagi hasil di tentukan berdasarkan harga
CBM dan menetapkan harga gas domestik yang paling rendah agar lebih menarik.
Referensi:
Partomidagdo, Widjajono.2009. Migas dan
Energi di Indonesia; Permasalahan dan Analisis Kebijakan. Bandung.
Development Studies Foundation.
Komentar
Posting Komentar